Tidak lulus Sekolah Dasar mendirikan pesantren di pusat Kota Kudus. Kini menjadi usahawan tanah yang sukses.
Hari menjelang malam, ketika Iman Syahid menginjakkan kaki di Kota Wali, Kudus, Jawa Tengah setelah menempuh perjalanan selama 9 jam dari Surabaya. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan.
Ketika peluh belum lagi kering, tangan ayah 6 anak ini ditarik begitu saja oleh kernet angkutan kota (angkot) dan disesatkan hingga ke wilayah Demak. “Saya sempat bingung. Karena uang tinggal sedikit, saya memilih musholla untuk beristirahat dan melepas lelah,” tambah Iman.
Untung Iman tidak sendiri, dia ditemani oleh Abdurrahman dan Fatihul Haq, sehingga ada teman untuk berbagi suka dan duka.
Yang mendebarkan perasaan mereka adalah lantaran dipundaknya bergelayut sebuah tanggungjawab untuk mendirikan pesantren di kota yang sebelumnya bernama Tajug itu.
Bahkan dilihat dari nama dan julukannya sebagai Kota Wali, sudah membuat orang tidak boleh gegabah membuat kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan tanpa dilandasi oleh ilmu yang mumpuni.
Tentu bagi Iman cs, tugas dakwah dan mendirikan pesantren di kabupaten berpenduduk 730.290 dengan jumlah santri, pelajar dan mahasiswa yang menekuni ilmu keagamaan mencapai 69.357 bukanlah hal mudah.
Tapi Iman tak mau mundur, “Sekiranya tidak disokong oleh kemauan yang tinggi, rasanya pekerjaan ini mustahil dapat terwujud,” kata suami Umi Kalsum menjelaskan.
“Namun layar sudah telanjur terkembang,” kata Iman. Segala hambatan tidak dijadikan masalah. Bahkan dalam lubuk jiwa Iman, ada keyakinan bahwa di Kudus ini masih banyak orang yang sehati dengannya, dalam mengangkat misi kemanusiaan. Likulli da’watin tujib, setiap ajakan yang baik pasti ada yang menyambut, demikianlah Rasulullah shallallahu alaihi wa Sallam (SAW), mengingatkan.
Allah Maha Besar! Benarlah sesampainya di Kudus, setelah melakukan silaturrahim ke sana ke mari, oleh Allah SWT mempertemukan Iman dengan orang yang baik budi, yakni Sulhan Abdul Malik SH, seorang notaris. Selama beberapa hari, Iman dan kawan-kawan diperkenankan menginap secara cuma-cuma di rumahnya.
Namun seenak-enaknya numpang di rumah orang tentu ada perasaan tidak nyaman. “Kami menyadari. Tentu kehadiran kami, menambah anggota keluarga baru beliau, sekaligus membebani. Namun alhamdulillah, berkat kedermawanan Ibu Sultan, kami diterima dengan baik,” kata Iman.
Ujian Pertama
Tak ingin berlama-lama menumpang, Iman akhirnya memutuskan berpamitan, sekalipun belum tahu mau pindah ke mana. Syukurlah, selang tak berapa lama, mereka diterima oleh salah seorang pemuka agama yang mempelopori cikal bakal kelahiran pesantren di daerah Ploso, Ust. Shonhaji. Tokoh lulusan Pesantren Gontor tersebut selalu memberikan input kepada Iman tentang ketahanan mental dalam menghadapi tantangan.
Di sinilah terjadi pergolakan batin yang serius, khususnya pada diri Iman. Apakah dia akan tetap pada misi yang diamanahkan dari Surabaya untuk merintis berdirinya sebuah Pondok Pesantren Hidayatullah, atau mondok di sini, sebagai santri.
Iman sadar panggilan untuk mondok sangat besar. Akan tetapi, percikan nilai-nilai yang dia peroleh dari Pondok Pesantren Hidayatullah tidak kalah kuatnya untuk dipertahankan. Bahkan ada semacam tekad jika tidak berhasil, tidak akan kembali ke Surabaya dan tidak akan pulang ke rumah, begitulah azam ( tekat) Iman kala itu.
Menjemput Pertolongan-Nya
Suatu hari, Iman sowan (silaturrahim) ke Pak Haji, seorang pedagang sendal di Pasar Kliwon. Anehnya, sekalipun sebelumnya tak pernah kenal, pertemuan awal itu sangat menyejukkan hati. “Kami berdua, bagaikan pertemuan antara generasi muda Ismail ‘alaihissalam (AS) dengan generasi tua Ibrahim AS,“ kata Iman.
Saat itu komunikasi Iman dengan Pak Haji Lili –disebut demikian karena beliau terkenal dengan produk sandal ‘Lili’nya-- berjalan dengan efektif.
“Seakan-akan kami berdua telah saling mengenal sekian lama,” tutur pria sederhana ini. “Ruhani kami dengan beliau berpadu dalam tali ukhuwwah yang kuat. Suasana akrab melebihi dari keharmonisan dengan saudara sendiri, sulit terungkap dengan kata-kata,” tambahnya.
Air mata kebahagiaan Iman mengalir tiada putus-putusnya. Hatinya larut dalam suasana yang membahagiakan. Keyakinan akan dukungan Allah SWT terasa menyertai perjalanannya. Dan mulailah dia bermarkas di rumah pinjaman Pak Haji. Dari markas ini pula, ia mulai mengajar ngaji anak-anak.
Makin lama anak yang mengaji makin banyak. Menyadari akan terterbatasan kemampuannya, ia pun merekrut beberapa mahasiswa IAIN Kudus untuk membantu menangani program pendidikan anak-anak yang mengaji.
Ujian Kembali Datang
Namun entah bagaimana ceritanya, muncullah api kedengkian terhadap perjuangan Iman dan kawan-kawan. Perkembangan iman yang disebutnya baru setapak itu dihadang api cemburu dari salah seorang yang ditokohkan. Iman sempat diusir oleh tokoh itu.
Syukurnya, di tengah kerisauan Iman, ternyata Pak Haji sebagai pendukung utama Iman tak terpengaruh. Dia malah makin percaya kepada Iman .
Akhirnya Iman melangkah semakin bulat. Dan pada beberapa bulan berikutnya Pimpinan Hidayatullah di Surabaya, Ust Drs. Abdurrahman Ec., mengirimkan Ust Ir. Hanifullah yang memberikan darah segar pada gerakan dakwah baru dirintis itu. Alhamdulillah.
Hampir bersamaan dengan itu, Iman mendapat hibah rumah seluas 900 M2, di bilangan Grogol Loji, Bakalan Krapyak. “Kondisinya cukup menyeramkan. Kanan kirinya penuh ilalang yang tinggi,” kata Iman mengenang.
Seiring perjalanan waktu, Iman merasakan tidak ada pekerjaan besar yang mustahil diwujudkan. Di atas pondasi keikhlasan, pertolongan Allah SWT semakin dekat dan terbukti. Kini kampus Hidayatullah Kudus tidak lagi berupa semak belukar.
Sejumlah fasilitas dakwah telah dibangun di dalamnya. Ada gedung serbaguna, lima perumahan pengasuh, gedung TPQ, Play Group, TK Ya Bunayya, SDIT dan gedung SLTP Integral sejak tahun 2004. Dan baru-baru ini memperoleh tanah wakaf satu hektar berdekatan dengan jantung kota.
Dalam menekuni dakwah, selain sikap sami’na wa atho’na kepada pimpinan, ada dua ayat yang menjadi sumber semangat Iman. Ayat itu adalah “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad [47] : 7).
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq [65] : 2-3).
Pada awalnya tugas, Iman mengaku merasa berat menjalankan amanh yang di embannya. Akan tetapi, belakang hari dia menyadari betapa Allah SWT senantiasa menolong hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya, dan melimbahkan rezeki (dana, dan daya dukung perjuangan lainnya) dari sumber yang tak terduga.
Dan, entahlah, kata Iman, amanah yang semula terasa berat dan menakutkan, kini menjadi indah dan mengasyikkan untuk dijalani. Subhanallah. *Sholih Hasyim, Ali Athwa/Suara Hidayatullah.