Berdakwah tidak selalu dengan ceramah, tapi bisa juga dengan pengobatan. Terbukti efektif.
Matahari pagi belum menampakan sinarnya. Namun, Farid sudah melangkahkan kakinya
untuk berdakwah. Meski sudah berangkat pagi, tapi lelaki berkulit sawo matang itu tetap saja telat. Bahkan dua jam lamanya. Jamaah yang sejak tadi menunggu pun sudah bubar.
untuk berdakwah. Meski sudah berangkat pagi, tapi lelaki berkulit sawo matang itu tetap saja telat. Bahkan dua jam lamanya. Jamaah yang sejak tadi menunggu pun sudah bubar.
Rupanya, penyebab keterlambatan itu adalah Leo, rekannya yang sehari sebelumnya berjanji menjemput Farid di terminal Boyolali, Jawa Tengah. Leo telat menjemput Farid dengan alasan sepeda motornya diperbaiki di bengkel.
“Kenapa tidak pinjam tetangga atau naik angkot, Leo?” tanya Farid. Leo diam saja. “Ya begitulah kalau tak mau disiplin,” Farid menegaskan.
Bukannya meminta maaf, Leo justru meradang. Ia memarahi Farid bahkan hendak menamparnya. Melihat itu, Farid berusaha tenang dan tak tersulut emosi.
“Anda bisa saja menang melawan saya, tapi Anda belum tentu menang melawan Tuhan saya,” ungkap Farid mantap tanpa takut sedikit pun.
“Tahu apa Anda tentang Tuhan,” kilah lelaki yang memiliki tato di tangannya itu dengan suara meninggi.
“Tuhan saya pemberi kebahagiaan dunia dan akhirat,” jawab Farid diplomatis.
“Lalu, kebahagiaan apa yang bisa diberikan Tuhanmu kepadaku,” kata Leo yang beragama Katolik itu.
“Kebahagiaan dunia dan akhirat. Anda akan begini terus selama cara hidupmu seperti ini,” ujar Farid.
Leo makin bingung. Dahinya berkerut. Di hatinya ada sesuatu yang berkecamuk. “Apa saya bisa bahagia, lha wong saya miskin. Saya juga penjual minuman keras,” ungkap Leo.
Farid pun menjelaskan, kekayaan itu hakikatnya bukan di materi, tapi di dalam diri. “Jika kita percaya pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah, ia akan memberikan rezeki yang cukup dan berkah kepada kita,” jelas Farid.
Mendengar hal itu, Leo semakin penasaran. Rasanya, ada sesuatu yang baru ia dengar selama ini. Leo pun ingin tahu lebih jelas tentang Allah. “Boleh saya ikut ke Salatiga, tempat Pakde Farid?” pintanya.
Akhirnya, setelah gagal mengisi pengajian tentang Thibbun Nabawi di Boyolali, Farid pulang ke Salatiga ditemani Leo. Mereka pulang dengan menggunakan bus. Di sepanjang jalan, Leo banyak bertanya tentang Allah dan Islam.
Di Salatiga, sembari makan di sebuah warung kecil, Farid menjelaskan tentang al-Qur`an. Lebih dari sejam, hingga akhirnya Leo pun paham dan mulai menerima penjelasan Farid.
Farid lalu memberikan sebuah buku tentang Islam. Tidak hanya itu, Farid pun berusaha mengobati sakit ambeien yang diderita Leo. Alhamdulillah, sembuh. Tanpa diduga, suatu saat Leo melaksanakan shalat, padahal belum masuk Islam. Hingga akhirnya, secara sadar, Leo pun mengikrarkan dirinya sebagai Muslim.
Menurut Farid, itu adalah salah satu pengalaman yang paling berkesan. Dia bisa mengobati pasien dan sekaligus mengajaknya masuk Islam. Kejadian seperti itu bukan kali pertama bagi Farid. Sudah banyak pasien yang masuk Islam atau kembali ke jalan yang benar setelah mendapat hidayah-Nya melalui sentuhan tangannya. “Jumlah pastinya kurang tahu. Tapi sudah banyak pasien yang masuk Islam,” katanya.
Seperti yang dilakukannya pada Daniel, warga Salatiga. Daniel adalah seorang etnis China yang beragama Konghucu. Saat itu, ia mengantarkan ibunya yang sakit tiroid akut yang sudah bertahun-tahun belum juga sembuh. Daniel sangat menyangi ibunya. Bahkan, apa pun akan dilakukan Daniel demi kesembuhannya.
Lantas, Farid mengobatinya dengan cara totok dan ruqyah. Dengan izin Allah, setelah sepekan, ibu tersebut sembuh. Daniel pun senang bukan main. Lebih dari itu, ia kagum dengan agama yang dianut Farid. Tak lama setelah itu, secara sadar ia memeluk Islam.
Selain Daniel, ada juga seorang ibu yang memiliki tiga rumah sakit besar di Jakarta. Selain pemilik rumah sakit, ia juga seorang dokter. Tapi, kata Farid, dokter tersebut tidak mau diobati oleh dokter. Tapi entah kenapa, dokter tersebut malah mau diobati oleh Farid.
Farid mengobatinya hanya dengan akupuntur dan menyuruhnya ber-istighfar. Anehnya, ibu tersebut justru nangis tersedu-sedu bahkan hingga terduduk. “Obati saya, Pak. Saya ingin kembali ke jalan Allah,” katanya.
Hasilnya, ibu itu pun sembuh. Farid ditawari menjadi akupunturis di rumah sakitnya. Tetapi, tawaran itu ditolak Farid karena ingin mengabdi pada masyarakat di Salatiga.
Dirikan Klinik
Selain menjadi terapis Thibbun Nabawi di rumahnya, Perum Dliko Indah Gang 17 N0. 236 B Salatiga, Farid juga mendirikan klinik pengobatan ala Rasulullah yang bekerjasama dengan Hidayatullah Salatiga.
Beberapa kali dalam sebulan, Farid bersama timnya mengadakan pengobatan semi sosial di daerah mayoritas non-Muslim. Misalnya, daerah Kopeng, objek wisata Warak, Salatiga Permai, Randu Acir, Ploso, Getasan, dan Grawan.
“Kita tampilkan Islam yang baik, damai, dan mengesankan. Dan, ternyata respon mereka sangat bagus. Kita disambut baik dan diberi suguhan tiap kali datang,” paparnya. Tiap kali bakti sosial, katanya, pasiennya selalu membludak. Mereka dari berbagai kalangan.
Klinik tersebut menyediakan sebelas jenis pengobatan. Di antaranya, bekam, ruqyah, terapi psikologi, akupuntur, akupresur, bio elektrik, terapi obesitas, totok aura wajah, dan sebagainya.
Dedikasi Farid dalam menggunakan Thibbun Nabawi sebagai dakwah diakui Rosyid, Ketua Pimpinan Daerah Hidayatullah Salatiga. “Beliau sosok terapis handal sekaligus dai. Saat mengobati pasien pasti diselipkan dakwah meski kepada non-Muslim,” katanya. Kiprah Farid, ujar Rosyid, sudah banyak dirasakan oleh warga Salatiga.
Ahli Pengobatan
Lelaki yang akrab disapa Farid ini memiliki nama lengkap Farid Imam Prakoso. Sejak kecil, suami Nur Gesliana ini “hobi” memijat. Jika ada orang sakit, tangannya spontan mengobati. “Banyak orang yang mengaku suka pijitan saya. Penyakit mereka juga sembuh,” kata lelaki kelahiran 1968 ini.
Bermula dari “hobi” itu, lelaki yang mengaku masih keturunan dari Raja Dompu, Abdul Majid Rasol, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini terus mengasah hobinya. Ketika kuliah di Unissula, ia belajar berbagai pengobatan dari puluhan terapis. Bahkan pernah belajar akupuntur dari Rebeca, akupunturis handal asal China selama lima tahun.
Tidak hanya itu, Farid juga pernah belajar Thibbun Nabawi dari Tuan Haji Ismail bin Ahmad, pemilik Herbal Penawar Al-Wahida (HPA) di Malaysia. “Saya pernah belajar berbagai pengobatan di China dan Malaysia,” akunya. Farid pun menguasai berbagai jenis pengobatan, di antaranya akupuntur, akupresur, bio elektrik, bekam, ruqyah, dan pengobatan lainnya. Ia juga mendapat sertifikat dari Persatuan Akupunkturis Seluruh Indonesia (PAKSI).
Karena keahlianya itu, banyak pasien yang merasakan mujarabnya pengobatan Farid. Tidak hanya masyarakat biasa, tapi juga pengusaha, pejabat, hingga direktur perusahaan terkenal banyak yang berobat kepadanya. Tak terkecuali dari non-Muslim yang kemudian ada di antara mereka yang masuk Islam. *Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah