Secara diam-diam gerakan pemurtadan terhadap umat Islam jalan terus dengan berbagai jurus.
Rumah itu nyaris roboh. Lasman (bukan nama sebenarnya), pemiliknya, tak mampu berbuat apa-apa. Tentu saja ia ingin memperbaiki rumahnya. Namun apa daya ia tak mampu.
Penghasilannya sebagai buruh serabutan hanya cukup untuk memberi makan istri dan anaknya. Itu pun pas-pasan.
Penghasilannya sebagai buruh serabutan hanya cukup untuk memberi makan istri dan anaknya. Itu pun pas-pasan.
Dalam keadaan terjepit seperti itu datanglah seseorang yang menawarkan pertolongan. “Orang itu bersedia membantu asal saya mau ikut pembinaan di gereja,” tutur Lasman, warga Desa Kucur, Kecamatan Dawu, Malang, Jawa Timur kepada majalah Suara Hidayatullah September lalu.
Mendapatkan tawaran menggiurkan seperti itu, Lasman tanpa pikir panjang mengiyakan. Kemudian, setiap minggu ia datang ke gereja untuk mengikuti kebaktian.
Waktu terus berjalan. Lasman terus menunggu-nunggu kapan rumahnya akan diperbaiki. Hari demi hari, minggu demi minggu bahkan bulan demi bulan, janji itu tak kunjung dipenuhi. Lasman mulai ragu.
“Jebakan” yang tengah menjerat Lasman itu terdengar Jamil, seorang dai yang juga tinggal di Desa Kucur. Bersama beberapa temannya, Jamil datang ke rumah Lasman. Ia ikut prihatin dengan keadaan Lasman. Ia berjanji membantu merenovasi rumah Lasman yang sudah miring itu.
Jamil mulai menggalang solidaritas umat Islam di Desa Kucur. Gong pun bersambut. Ternyata banyak warga yang terketuk. “Alhamdulillah, ada yang bantu kayu, uang, dan sebagainya,” kata Jamil.
Tidak hanya warga Kucur, para siswa sebuah madrasah aliyah di Malang pun ramai-rami ikut membantu. “Mereka saat itu bertepatan sedang bakti sosial di sini, akhirnya kita kerahkan saja ke sana,” Jamil menjelaskan.
Tak berapa lama renovasi rumah Lasman pun tuntas. Kini, rumah itu kembali berdiri tegak, dengan dinding bata dan lantai semen. Kata Jamil, “Jika dihitung biayanya sekitar sepuluh juta.”
Usai perbaikan, Jamil minta agar Lasman aktif mengikuti kegiatan keislaman di lingkungannya seperti yasinan dan tahlilan. “Agar akidah dia tidak mudah goyah,” kata Jamil berharap.
Tapi rayuan itu tak datang sekali. Gagal dengan rayuan pertama, dia datang lagi memberi rayuan lebih dahsyat. Menurut Jamil, Lasman ditawari sepede motor asal mau ke gereja lagi. Namun, karena merasa pernah dibohongi, Lasman tak mempan lagi dirayu.
Akan tetapi, bukan berarti kristenisasi berhenti. Gagal dengan santunan sosial, mereka menggunakan cara lain. Kali ini mereka mengundang warga hadir pada acara Natalan bersama.
Untuk mencegah warga menghadiri acara tersebut, beberapa tokoh pemuda merencanakan pengajian. Mereka meminta Jamil mengisi pengajiannya. Namun Jamil punya pikiran lain. “Pengajian itu tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Ia kemudian mengumpulkan tokoh-tokoh agama, baik dari Islam maupun Nasrani, membahas undangan Natal bersama. Akhirnya, mereka bertemu di kantor kelurahan dan beradu argumentasi.
“Mereka berdalih untuk kerukunan antar umat beragama,” kata Jamil.
Tentu saja alasan itu tidak tepat. Acara semacam itu, menurut Jamil mengandung unsur jebakan. “Umat Islam tidak boleh hadir pada acara Natalan. Haram hukumnya,” kata ayah satu anak ini.
Jamil yang sempat dicurigai sebagai orang luar, mampu mamatahkan argumentasi mereka. Ia minta kepada mereka tidak mengulangi undangan seperti itu.
Desa Kucur terletak di kaki Gunung Panderman. Tepatnya sekitar 30 menit jika ditempuh dengan sepeda motor dari alun-alun kota Malang ke arah barat. Kristenisasi sudah lama berkembang di sini, sejak tahun 60-an. Kini, dari tujuh dusun yang ada, dua di antaranya mayoritas Nasrani, yaitu Dusun Ketoan dan Dusun Goden.
Bahkan, kata Jamil, Desa Kucur seperti sudah dikepung Seminari, lembaga pendidikan yang menyiapkan calon pendeta dan misionaris. “Ada tiga Seminari terletak di pinggiran Desa Kucur,” katanya
Dari jumlah penduduk yang sekitar 5 ribu orang, hampir 1000 orang yang beragama Nasrani.
Jamil asli kelahiran Desa Kucur, 36 tahun lalu. Setelah lulus SMP ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Miftahul Falah, Singosari Malang. Tamat dari pesantren, ia diajak temannya merintis Pesantren Hidayatullah di Ternate, Maluku Utara.
Tahun 2005, ia kembali ke kampung halaman dan tak balik lagi ke Ternate. Sebenarnya di Ternate ia mengaku senang, tapi oleh para tokoh di Desa Kucur ia diminta mengabdi di kampungnya. “Waktu itu saya pulang menengok orangtua. Saat mau kembali malah digandoli,” katanya. Ia diminta membenahi madrasah tsanawiyah, satu-satunya sekolah menengah yang ada di Desa Kucur.
Madrasah tsanawiyah itu berdiri sejak tahun 1992. Tapi keadaanya, menurut Jamil, seperti hidup enggan mati tak mau. Di sisi lain, angka partisipasi pendidikan di Kucur juga rendah, kata Jamil, terutama pendidikan menengah. Lulus SD mereka memilih bekerja. Ada yang bekerja membantu orangtua sebagai petani, ada pula yang bekerja di pabrik-pabrik. Tak jauh dari Kucur memang daerah industri. Banyak pemuda-pemuda Kucur terserap di Industri tersebut
Mengingat keadaan seperti itu, mencari murid bukan perkara gampang. Sama susahnya dengan mempertahankan para murid agar tidak putus di tengah jalan. “Pada awal saya masuk tahun 2005, hampir tiap hari saya berkunjung ke rumah-rumah murid, agar mereka tetap mau sekolah,” kata Jamil.
Untuk memancing minat orangtua menyekolahkan anaknya, Jamil tidak terlalu membebani dengan uang sekolah. Rata-rata mereka membayar Rp 10 ribu. “Bahkan lebih banyak yang tidak membayarnya,” kata Jamil yang baru saja pulang umrah atas biaya Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Malang ini.
Lantas, bagaimana dengan biaya operasional sekolah? Untuk hal ini, Jamil yang diberi amanah sebagai kepala sekolah menyandarkan kepada bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah.
Dengan cara seperti itu, pelan-pelan angka partisipasi pendidikan terdongkrak. Indikasinya, di tahun 2005, murid Jamil hanya berjumlah 80 anak, namun kini sudah 330 anak.
Menghancurkan Patung
Selain membenahi pendidikan, Jamil juga aktif membina masyarakat. Salah satunya adalah para remaja. Karena membina remaja ini pula, Jamil pernah kesandung kasus.
Suatu malam remaja binaan Jamil itu melancarkan sebuah aksi. Bukan meledakkan bom atau membunuh orang, melainkan menghancurkan patung di desa tetangga. Patung itu biasa digunakan sesembahan pemeluk agama Budha. “Anak-anak itu ingin menunjukkan bahwa patung-patung itu tak bisa berbuat apa-apa, karena itu tak patut disembah,” kata Jamil mengutip alasan anak binaannya.
Tentu saja yang punya patung marah. Mereka lantas mengadukan ke pihak aparat desa. Jamil pun akhirnya dianggap sebagai orang yang ikut bertanggung jawab. Pihak desa meminta agar patung itu dibangun kembali. Biaya pembangunannya dibebankan kepada kelompok Jamil. *Bambang Subagyo/Suara Hidayatullah.