Berdakwah perlu cara yang tepat. Ternyata kearifan terbukti lebih manjur ketimbang kekuatan fisik.
Tampah dari anyaman bambu yang dilapisi daun pisang itu penuh makanan. Ada nasi tumpeng, ayam bakar, ikan goreng, dan telor. Di bagian pinggir, ada beberapa jenis buah: apel, salak, dan jeruk. Aroma harum menyeruak menusuk hidung. Jangan salah, hidangan lezat itu bukan untuk disantap, tapi dijadikan sesaji. Lalu, sesaji itu diletakkan di depan candi, lengkap dengan dupa yang mengepulkan asap.
Candi yang memiliki tiga teras dan berundak itu adalah Candi Penampihan atau juga biasa disebut Candi Asmorobangun. Tingginya 875 meter dari permukaan laut. Candi ini terletak di lereng selatan Gunung Wilis, tepatnya di Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Tak jauh dari sesaji, terlihat lelaki paruh baya duduk bersila. Khusuk sekali. Hanya bibirnya yang komat-kamit merapal doa. Entah doa apa. Tapi, biasanya sedang mencari wangsit dari penghuni candi.
Lelaki itu bukan orang Hindu. Dia adalah seorang Muslim yang melakukan ritual animisme. Anehnya lagi, bukan hanya dia. Tapi mayoritas penduduk di Desa Geger juga melakukan hal yang sama, terutama saat punya hajat. Fenomena seperti ini terjadi sejak tahun 1975. Bukan itu saja potret buram warga lereng Gunung Wilis ini. Judi juga seolah bagian hidup tak terpisahkan.
Tak pelak, kondisi keagamaan mereka sangat memprihatinkan. Di desa yang jumlah penduduknya sekitar 2.000 orang itu, hanya ada satu mushalla. Itu pun kondisinya mengenaskan. Seperti kandang kambing; penuh tanah dan ditumbuhi rumput. Padahal, sekitar 90 persen penduduknya beragama Islam.
Berawal dari “Salam”
Pemandangan memprihatinkan itu kontan membuat naluri dakwah Muhadi Muhammad Nur bangkit. Waktu itu, Pak Puh, demikian ia biasa disapa, baru saja pindah dari Mojokerto, Jawa Timur ke Desa Geger. Pak Puh langsung disambut ladang dakwah yang terhampar luas. “Saya kaget. Sejak itu, saya berniat mengembalikan mereka ke jalan yang benar,” ujarnya ketika ditemui Suara Hidayatullah, awal Agustus lalu di rumahnya.
Fenomena itu menurut Pak Puh, tidak lain karena tak ada dai. Jadi, wajar jika di KTP Islam, tapi tidak ada yang mengerjakan ajaran Islam. “Kondisi ini ibarat gelap. Dia akan terang jika ada lentera,” tuturnya.
Sebenarnya bukan tidak ada dai. Menurut Pak Puh, sebelumnya ada dua orang dai tapi semuanya kabur gara-gara diusir penduduk karena cara dakwahnya yang kurang tepat.
Dari situ Pak Puh mengambil pelajaran. Tidak mudah mengubah tradisi syirik yang sudah melekat di masyarakat. Karen itu, dibutuhkan cara yang jitu. Untungnya, Pak Puh tahu banyak kebiasaan warga Geger. Pak Puh sendiri asli Kediri, Jawa Timur. Jadi, adat istiadat penduduk sekitar tidak asing baginya. Salah satunya kebiasaan mengucapkan salam jika bertemu di jalan.
Maka Pak Puh memulai debut dakwahnya dengan salam. Jika bertemu dengan setiap penduduk di jalan, ia selalu berucap salam. Tidak memakai bahasa Arab, melainkan bahasa Jawa, monggo. Dari situ, ia pun mulai dikenal penduduk Desa Geger. Tak lama kemudian ia pun sudah akrab.
Desa Geger terdiri dari empat dusun; Sukorejo, Geger, Tambibendo, dan Ngrejeng. Jarak setiap dusun berbeda-beda. Ada yang tiga kilo meter hingga lima kilo meter. Hawa di sini sangat dingin. Apalagi jika sore tiba, kabut tebal sering turun. Satu helai kain tak akan mampu menahan gigitan hawa dingin.
Selain berada di lereng gunung dan terpencil, jarak Desa Geger ke kota Tulungagung cukup jauh, sekitar dua jam menggunakan angkutan desa. Menanjak dan berbelok. Dalam berdakwah ke masing-masing dusun, Pak Puh harus berjalan kaki. Tak pelak, ia harus pulang larut malam. Kalau sudah begini, gelap dan suara binatang menjadi teman dalam perjalanannya.
Untuk lebih memantapkan dakwahnya, Pak Puh mengajari anak-anak al-Qur’an. Alhamdulillah, respon masyarakat cukup tinggi. Ada sekitar 50 anak yang mengaji. Tanpa digaji, ia pun mengajar seorang diri. Ternyata, apa yang dilakukan lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) ini menarik perhatian penduduk. Banyak penduduk yang datang berkonsultasi soal keagamaan.
Pak puh pun tidak membuang kesempatan itu untuk berdakwah. Dengan cara bijak, ia mulai menyinggung masalah sesaji di candi. “Masa batu dan pohon dijadikan sesembahan. Benda itu mati tak bisa berbuat apa-apa,” katanya.
Pak Puh melanjutkan, “Yang berhak disembah adalah yang menciptakan benda tersebut.” Nasihat Pak Puh jitu. Satu per satu para penduduk sadar. Sejak itu, jarang ada penduduk yang berdoa di candi lagi.
Butuh Kearifan
Pak Puh memang mengedepankan kearifan dalam berdakwah. Misalnya ketika mengajak penduduk berhenti judi, ia tidak langsung melarangnya, tapi ikut nimbrung duduk. Nah, jika ada yang kalah, baru dinasihati. “Betul kan, judi itu nggak akan menang terus. Pasti kalah,” ujarnya.
Hal itu dilakukan Pak Puh cukup lama, setahun lebih. “Memang tidak gampang mengajak orang berhenti berjudi. Apalagi jika sudah ketagihan duit,” katanya. Akhirnya, usaha Pak Puh membuahkan hasil. Satu per satu warga berhenti berjudi. Kini, menurut ayah dari empat anak ini tidak ada lagi warga yang berjudi.
Menurut imam Mushalla Siddiqul Huda di Dusun Turi, Tarji, Pak Puh adalah dai pertama yang sukses berdakwah di Geger. Setidaknya, ujar Tarji, berkat dakwah Pak Puh, kini banyak berdiri mushalla. Salah satu kuncinya, menurut Tarji adalah kearifan dalam berdakwah.
Pak Puh sendiri adalah sosok sederhana. Rumahnya terbuat dari papan bercat putih dengan atap seng. Sedangkan rata-rata rumah warga yang mata pencahariannya menjual susu sapi dan berkebun terbuat dari tembok batu bata. Bahkan, tak jarang yang bertingkat dan punya kendaraan. Di samping rumah Pak Puh, ada Masjid Jami’ Al-Huda. Masjid ini biasa digunakan untuk shalat Jumat dan Idul Fitri.
Kini, Islam di Geger makin bersinar. Mayoritas warganya sudah menjalankan ibadah shalat. Bahkan aktif mengikuti kajian sepekan sekali. Di empat dusun itu juga sudah berdiri 17 mushalla dan satu masjid.
Yang aneh, di Geger yang mayoritas Muslim ini, ada lima bangunan gereja. Bentuknya seperti rumah biasa, tapi cukup besar. Seperti di Dusun Turi, berdiri Gereja Kristus Tuhan (GKT), padahal kata warga setempat, hanya ada sekitar 2 KK yang beragama Kristen.
Pak Puh telah sepuh. Usianya menginjak 63 tahun. Tubuhnya mulai rapuh dan tidak sekuat dulu. Pak Puh berharap, Islam di Geger bisa tetap bersinar. Di Masjid Jami’ Al-Huda, Pak Puh dan anaknya, Siti Nur Azizah mengajar al-Qur’an dan sesekali mengisi pengajian. Itulah yang masih bisa dilakukan pria paruh baya ini demi kelestarian Islam di Geger. *Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah.