Pagi masih buta. Jalan setapak menuju Desa Mensarang, Kalimantan Barat masih sepi. Tapi, Abdul Syukur dan santrinya, Mustain, terus memacu sepeda motornya. Suaranya memecah kesunyian. Hari itu, Syukur
harus mengisi ceramah di kampung suku Melayu yang berjarak 20 kilometer. Sementara itu kondisi jalannya masih tanah liat, licin, dan turun-naik.
harus mengisi ceramah di kampung suku Melayu yang berjarak 20 kilometer. Sementara itu kondisi jalannya masih tanah liat, licin, dan turun-naik.
Saat di perjalanan hujan turun sangat lebat. Mustahil Syukur melanjutkan perjalanan, sebab ia bisa basah kuyup. Apalagi Syukur tidak membawa pakaian pengganti. Ia pun terpaksa berteduh di sebuah gubuk. Tapi, satu jam lebih hujan tak kunjung berhenti. Malah kian lebat. Padahal, jam sudah tepat pukul 6.30 WITA, jadwal ceramah sudah dimulai. Syukur mulai cemas. Tiba-tiba, hand phone-nya berdering.
“Ustadz, posisinya di mana sekarang?” tanya panitia di ujung telepon.
“Kita terjebak hujan lebat dan sekarang sedang berteduh. Mustahil kita bisa sampai tepat waktu,” jawab lelaki asal Sulawesi Selatan ini.
“Lalu bagaimana dengan jamaah, Ustadz? Mereka tetap mau menunggu Ustadz,” terangnya.
“Tipis kemungkinan. Sebab, hujan deras, jalan juga sangat becek. Lebih baik diganti dengan yang lain saja,” pinta Syukur.
“Tidak ada Ustadz. Pokoknya jamaah hanya minta Ustadz. Mereka siap menunggu sampai Ustadz datang,” tegasnya.
Antusiasme jamaah menyirami relung kalbu Syukur. Tanpa pikir panjang, ia menyuruh Mustain tancap gas. Motor itu pun menerobos hujan yang bertambah deras. Hanya beberapa menit, seluruh badan Syukur basah kuyup. Namun itu tak dihiraukannya.
Di benaknya hanya ada jamaah yang sedang menunggu. Tiba-tiba, kedua roda motornya terperosok ke dalam lumpur. Meski gasnya sudah di-geber berkali-kali, tetap saja tak bisa berjalan. “Nguunnggg!”....Rodanya berputar-putar di tempat. Lumpur pun berhamburan dari roda belakang.
Syukur terpaksa turun. Santrinya disuruh meng-geber lebih kuat. Lelaki yang tak bisa mengendarai sepeda motor ini mendorongnya dari belakang. “Bismillah.. Ayo, tarik, Mas!” teriaknya. Nihil, motor tak juga bergerak. Malah Syukur terkena lumpur.
Setelah beberapa menit, perjuangan Syukur akhirnya menuai hasil. Motornya keluar dari kubangan lumpur. Ia kembali naik. Keduanya kemudian melesat menyusuri jalan setapak di tengah hutan Kapuas diiringi guyuran hujan. Tidak hanya licin, jalan juga menuruni dan menaiki bukit. Syukur pun harus beberapa kali turun dan mendorong sepeda motor.
Setelah empat jam perjalanan, sekitar pukul 08.00 WITA, Syukur tiba di tempat. Kondisi Syukur tampak mengenaskan, basah dan kotor. Gamis berwarna putih itu kini berubah kecoklatan. Puluhan jamaah melihatnya dengan mata berkaca-kaca. Sebagian bertanya-tanya, “Apa yang terjadi, Ustadz?” Syukur hanya tersenyum.
Syukur termasuk dai spesialis pedalaman. Pasalnya, ayah tiga anak ini memang tinggal di pedalaman Sungai Kapuas. Letaknya di Desa Penyeladi, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Tapi, kondisi jalan yang menyusuri sungai terpanjang di Indonesia ini tidak mulus. Sebagian rusak bahkan ada pula yang sudah terkikis.
Di Kabupaten Kapuas, ada dua suku yang cukup besar, Melayu dan Dayak. Melayu identik dengan Islam sedangkan Dayak identik dengan Kristen. Kondisi keislaman warga Melayu cukup memprihatinkan. Syiar Islam relatif jarang. “Sudah lama, tidak ada dai yang mau terjun berdakwah ke pedalaman Kapuas ini,” ungkap Syukur kepada Suara Hidayatullah pertengahan November 2011 lalu. Karena itulah, Syukur merasa terpanggil. Ia rela keluar masuk hutan untuk berdakwah.
Padahal, lelaki berusia 37 tahun ini memiliki cacat fisik. Salah satu kakinya tidak normal. Makanya, ke mana-mana ia harus diantar Mustain menggunakan sepeda motor. “Ke mana pun berdakwah, saya diantar dia (Mustain),” tuturnya.
Kejadian tak kalah heroik pernah terjadi saat berdakwah di Kampung Melayu, Entakai. Kampung ini terletak di balik bukit dan melalui jalan setapak. Syukur berangkat selepas isya dengan dibonceng Mustain.
Belum lama berjalan, tiba-tiba hujan turun. Tak pelak, jalan setapak berupa tanah liat itu menjadi licin. Apalagi medannya turun-naik bukit. Ditambah lagi kondisi yang gelap gulita. Untung saja hujan tak begitu deras.
Bukan berarti jalan mulus. Syukur beberapa kali harus turun dan mendorong motor. Sesampainya di tempat, jamaah telah menunggunya. Dengan kondisi baju yang agak basah, ia pun mengisi ceramah hingga selesai. Ia pulang pukul 11 malam.
“Senang sekali bisa memberi pencerahan kepada mereka. Meski harus susah payah, tapi kalau sudah ceramah, hati ini plong rasanya,” ujarnya.
Syukur berusaha tidak pernah menolak setiap kali diundang pengajian. Selama bisa dijangkau, ia pasti datang. Ia tidak mau jamaah kecewa hingga tak mau lagi datang ke masjid.
Mendirikan Pesantren
Abdul Syukur awalnya adalah santri Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur. Pada tahun 2000, ia mendapat tugas membuka cabang baru di Sanggau, Kalbar. Dengan berbekal uang Rp 200 ribu, ia berangkat seorang diri. “Awalnya saya bingung bukan main. Selain terasing, saya tak punya apa-apa,” terangnya.
Alhmadulillah, berkat doa dan kegigihannya bantuan tak pernah sepi mengalir. Syukur pun berhasil membebaskan lahan sekitar 3 hektar untuk pesantren. Lahan itu masih berupa hutan lebat dan penuh semak belukar. Belum ada apa-apa, meski hanya gubuk reot. Karena itu, pertama kalinya Syukur membuat gubuk seadanya, beratap seng dan berdinding daun rumbia. Kata Syukur, kalau hujan gubuknya kemasukan air, bahkan sering tidur dalam keadaan basah.
Tak hanya itu, di tempatnya juga belum ada listrik. Oleh karena itu, Syukur menggunakan lampu teplok. Bila angin kencang, lampu pun sering padam. Bersama beberapa santrinya: Yusuf, Mustain, dan Rahmat, ia lalu membuka lahan. Setiap hari mereka menebang pohon dan menebas semak belukar. Sabit, parang, dan alat manual lainnya menjadi senjata utama. “Hampir tidak ada waktu istirahat,” kata suami Rusdiana ini.
Mereka juga memangkas gundukan bukit agar rata. Setiap hari, dengan tanpa lelah, sepetak demi sepetak tanah itu dicangkul hingga rata. “Tangan ini sampai kapalan,” ujarnya.
Alhamdulillah, kini telah berdiri dua bangunan di atasnya. Satu asrama untuk santri putri dan satu asrama khusus santri putra. Ada 30 santri yang mukim di sini. Mereka berasal dari keluarga tidak mampu, bahkan ada yang yatim piatu.
Hadiah untuk Allah
Sejak berdirinya pesantren, aktivitas dakwah Syukur semakin padat: membina para santri dan berdakwah kepada masyarakat. Ia berharap, para santrinya kelak menjadi dai yang mampu mensyiarkan Islam di tanah Sungai Kapuas.
Apa yang dilakukan Syukur terinspirasi oleh almarhum Ustadz Abdullah Said, pendiri Pesantren Hidayatullah. Katanya, “Jangan hidup hanya membaca sejarah, tetapi buatlah sejarah. Jangan lelah menanam kebaikan, meski kita tidak menuainya.”
Bapak tiga anak: Fitri Nur Ilahi, Miftahul Jannah, dan Fatimah Azzahra ini mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk Islam. Ia hanya bisa membuat pesantren. Itulah yang ingin ia persembahkan kepada Sang Pencipta. “Kelak, di akhirat, saya akan berkata kepada Allah Ta’ala, ‘Ya Allah, inilah hadiahku untuk-Mu’,” pungkasnya. *Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah