Demi menjadi seorang Da'i, ia rela tinggalkan statusnya sebagai pegawai negri sipil (PNS). Kini sudah sewindu berdakwah di kota tepian Samarinda dengan segala suka dukanya.
Siang itu sinar matahari cukup menyengat. Muhammad Tang (44), siap-siap menyusuri sungai Mahkam untuk memenuhi undangan pengajian di Desa Muara Pantuan. Bagi Muhammad tang, demikian pria ini biasa di sapa, tugas kunjungan dakwah ke Muara Pantuan bukanlah hal baru.
"Secra rutin saya ke Muara Pantuan,kadang menggunakan perahu klotok (sarana transportasi sungai Mahakam) selama 1,5 jam," ujar ayah tiga anak kelahiran Bone 1964 ini.
Sungai Mahakam adalah ikon Bumi Etam, Kalimantan Timur dengan ibukota provinsinya Samarinda. Kota Tepian Samarinda sendiri memiliki penduduk lebih kurang 600.000 jiwa,`dengan luas wilayah 718 kilometer persegi.
Sungai Mahakam adalah ikon Bumi Etam, Kalimantan Timur dengan ibukota provinsinya Samarinda. Kota Tepian Samarinda sendiri memiliki penduduk lebih kurang 600.000 jiwa,`dengan luas wilayah 718 kilometer persegi.
Hingga kini, Muhammad Tang secara istiqamah melakukan pembinaan iman bagi
penduduk yang tinggal di bantaran-bantaran sungai Mahakam dan pedalaman.
Kendati telah delapan tahun menjadi dai di Samarinda dan telah membangun sarana dakwah di bilangan Sempaja, Muhammad Tang tidak mau disebut sebagai sosok yang berhasil. "Saya termasuk orang yang belum berhasil," tutur pria ramah ini.
penduduk yang tinggal di bantaran-bantaran sungai Mahakam dan pedalaman.
Kendati telah delapan tahun menjadi dai di Samarinda dan telah membangun sarana dakwah di bilangan Sempaja, Muhammad Tang tidak mau disebut sebagai sosok yang berhasil. "Saya termasuk orang yang belum berhasil," tutur pria ramah ini.
Membina Napi
Seperti riak air sungai Mahakam yang terus mengaliri kota dan desa, geliat
dakwah Muhammad Tang pun terus menjangkau komunitas umat di berbagai lapisan. Mulai dari kalangan intelektual di perkotaan hingga di kampus-kampus untuk mengisi taklim. Beberapa perusahaan di sekitar Samarinda dan Kutai Kertanegara seperti VICO Muara Badak juga kerap mengundangnya untuk memberikan santapan ruhani kepada para karyawan dan masyarakat sekitar perusahaan.
Yang cukup menarik dalam touring dakwahnya adalah membina narapidana (napi) di Rutan Sempaja, Samarinda. Di balik tembok penjara yang tak bersahabat itu, Muhammad Tang menuntun dengan tekun para napi huruf demi huruf hingga akhirnya bisa melafadzkan ayat-ayat al-Qur'an. "Saya terpanggil untuk mengajari mereka dengan metode gerakan Mengajar dan Belajar al-Qur'an (Grand MBA) yang dicetuskan Hidayatullah," kata lelaki ramah ini.
Seperti riak air sungai Mahakam yang terus mengaliri kota dan desa, geliat
dakwah Muhammad Tang pun terus menjangkau komunitas umat di berbagai lapisan. Mulai dari kalangan intelektual di perkotaan hingga di kampus-kampus untuk mengisi taklim. Beberapa perusahaan di sekitar Samarinda dan Kutai Kertanegara seperti VICO Muara Badak juga kerap mengundangnya untuk memberikan santapan ruhani kepada para karyawan dan masyarakat sekitar perusahaan.
Yang cukup menarik dalam touring dakwahnya adalah membina narapidana (napi) di Rutan Sempaja, Samarinda. Di balik tembok penjara yang tak bersahabat itu, Muhammad Tang menuntun dengan tekun para napi huruf demi huruf hingga akhirnya bisa melafadzkan ayat-ayat al-Qur'an. "Saya terpanggil untuk mengajari mereka dengan metode gerakan Mengajar dan Belajar al-Qur'an (Grand MBA) yang dicetuskan Hidayatullah," kata lelaki ramah ini.
Berkat petunjuk Allah, melalui sentuhan sang ustadz akhirnya beberapa penghuni rutan yang tadinya buta huruf al-Qur'an kini sudah melek. Ada beberapa `alumni"-nya, kata Muhammad Tang yang sebelum habis masa tahanannya menyampaikan terima kasih, karena justru di dalam penjara bisa membaca al-Qur'an.
Menurutnya, dibutuhkan kesabaran dalam mengajari para napi, sebab rata-rata sudah paruh baya. Yang menyedihkan, ada satu muridnya yang sudah lanjut usia berkali-kali dituntun dan diajari tapi sampai saat ini belum juga bisa membaca. Saya sedih sekaligus kagum. Sedih karena sudah sekian lama diajari namun belum kunjung paham. Kagum karena usahanya yang tak kunjung jemu," katanya.
Muhammad Tang berusaha proaktif untuk memberikan pencerahan bagi umat. Alhamdulillah, berkat gerakan dakwah
yang gencar dilakukan oleh para aktivis dakwah dari berbagai komponen, pelan-pelan mulai terbangun kesadaran berislam
di masyarakat," jelasnya.
Menurut M.Riza Aliyafi, Staf Pembina-Mental Keagamaan Rutan, untuk angkatan pertama, sekitar 30 orang napi mengikuti pembelajaran al-Qur'an. Sebelum dimulai angkatan kedua, secara rutin pihak rutan melaksanakan pembelajaran al-Qur'an kepada sekitar 130 napi.
Instrukturnya adalah para petugas rutan sendiri. Para napi tampak antusias mengikuti program tersebut.
"Kami menjalin kerjasama dengan Hidayatullah Samarinda untuk pembinaan spiritual para narapidana, setiap Jum'at, khatibnya dari Hidayatullah," ujar Aliyafi.
Sekolah Unggulan
Selain geliat dakwah yang tak pernah surut, Muhammad Tang juga menyimpan obsesi mulia yakni menghadirkan pendidikan Islam yang berkualitas di Samarinda. Menurutnya, Samarinda adalah salah satu kota pelajar di Indonesia. Untuk di Kaltim, Samarinda adalah kiblat bagi pelajar yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain Universitas Mulawarman (Unmul), ada juga beberapa perguruan tinggi swasta di kota Tepian ini.
Itu pula yang menjadi salah satu alasan, mengapa Muhammad Tang memilih bidang Manajemen Pendidikan untuk S2-nya di IAIN Antasari Banjarmasin. Ia ingin Hidayatullah Samarinda segera memiliki sekolah unggulan, mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.
Kini, di kampus Hidayatullah seluas 3,5 hektar itu telah berdiri masjid dua lantai. Pembangunannya menghabiskan dana sekitar Rp 2,5 miliar. Selain bantuan dari Pemerintah kota senilai Rp 1,7 miliar yakni melalui Walikota H. Achmad Amins yang juga merupakan Pembina Hidayatullah Samarinda, juga kucuran dana dari Pemerintah Provinsi. Sisanya merupakan swadaya masyarakat, baik pengusaha, pejabat dan masyarakat yang terpanggil memberikan kontribusi.
Menurut Muhammad Tang, sebelum pembangunan infrastruktur pendidikan rampung, maka masjid akan menjadi pusat pendidikan, sekaligus pusat kajian keislaman. "Kami memprogramkan nantinya akan ada kajian intensif di masjid ini untuk kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Kampus Hidayatullah yang bersebelahan dengan kampus Unmul dan beberapa perguruan tinggi swasta sangat strategis untuk melakukan gerakan pembinaan keislaman," jelasnya optimis.
Tanggalkan Seragam PNS
Perjalanan Muhammad Tang di dunia dakwah dimulai ketika di Desa Tanjung Jumlai, Kabupaten Pasir (sekarang Penajam Paser Utara), Kaltim kedatangan seorang ustadz dari Pesantren Hidayatullah. Kajian yang disampaikan sang ustadz mengusik jiwa mudanya. Saat itu, ia mengabdi sebagai guru dengan status PNS.
Selama tiga hari, Muhammad Tang mengikuti kegiatan dakwah di masjid dan rumah penduduk yang dilakukan Ust.Amin Bahrun dari Pesantren Hidayatullah. "Apa yang saya dapatkan selama tiga hari mengikuti kajian sistematika nuzulnya wahyu (SNW) sangat berbeda dengan yang saya dapatkan selama tiga tahun di Pendidikan Guru Agama (PGA), kenangnya.
Sejak itu, semangatnya untuk bergabung ke Pesantren Hidayatullah di Balikpapan menggebu-gebu. Namun oleh Ust. Amin Bahrun, ia diminta untuk tetap melakoni tugasnya sebagai guru di Tanjung Jumlai, Kabupaten Pasir. Penangguhan itu tidak menyurutkan semangatnya. Bersama beberapa jamaah pengajiannya secara rutin setiap malam Jum'at mereka menyeberangi teluk Balikpapan untuk mengikuti kajian di kampus Hidayatullah, Karang Bugis Balikpapan.
Setelah empat tahun menunggu, akhirnya Muhammad Tang berkesempatan mencicipi kehidupan di kampus Hidayatullah Balikpapan. Ia tinggalkan statusnya sebagai PNS untuk mengabdi sebagai guru anak-anak yatim piatu serta terlantar di pesantren.
Mendapat Amanah
Tiga belas tahun berselang, tepatnya di penghujung tahun 2000, Muhammad Tang menggenggam Surat Keputusan (SK) untuk berdakwah di Samarinda. Suami Jawiyah ini lalu berangkat menjalankan amanah menuju ibu kota Kalimantan Timur.
Ketika tiba di Samarinda, ia sedikit terhenyak. "Kami mengalami banyak benturan kultural terkait perbedaan-perbedaan," katanya.
Akhirnya, ia mencoba menyiasati kondisi tersebut dengan memperbanyak silaturrahmi dan menjalin komunikasi dengan semua pihak. Alhasil, Muhammad Tang berhasil membangun komunikasi sekaligus menghilangkan sekat tersebut.
*Sahid Oktober 2008