Tetap bersemangat berdakwah di pelosok negeri. Tak gentar pula terjun langsung memberantas kemaksiatan.
Ranah Batahan merupakan daerah terujung di Propinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera Utara
(Sumut). Dari kota Padang jaraknya hampir 500 km. Beberapa meter saja dari ujung Ranah Batahan, bukan lagi wilayah Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar, tetapi sudah masuk Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Orang dari Padang yang datang ke ujung Ranah Batahan, akan terbengong-bengong karena bahasa keseharian penduduknya bukan lagi memakai bahasa Minang, melainkan bahasa Batak.
Adalah Subuhadi, seorang dai kelahiran 13 Mei 1979 yang mencoba terjun ke daerah perbatasan itu. Selesai menamatkan pendidikan di madrasah aliyah, ia merantau ke kota Medan. Di kota ini pula akhirnya ia berhasil meraih gelar sarjana pendidikan Islam.
Bukan sebagai guru pegawai negeri sipil yang menunggu sarjana pendidikan ini ketika langsung terjun ke daerah perbatasan Sumbar-Sumut itu. Melainkan mengabdi sebagi dai yang gencar berdakwah dari satu kampung ke kampung lainnya di pelosok Kecamatan Ranah Batahan. “Inilah jalan hidup saya. Berdakwah,” kata ayah dua anak yang diamanahi mengelola MTs Muhammadiyah Ranah Batahan.
Subuhadi memang tak sekadar mengajar mengaji dan mengelola madrasah saja, tapi juga mengemban amanah sebagai dai. Sebagai dai, ia rutin berdakwah di nagari yang terdiri dari beberapa wilayah jorong (desa). Lokasi jorong yang rutin dikunjunginya sangat berjauhan, bahkan terkadang harus menyusuri jalan berlumpur. Hanya mobil bergardan dua yang dapat menerobosnya. Kalau tidak ada tumpangan mobil, ia naik motor meski harus berkubang lumpur. “Bagaimanapun dakwah harus jalan terus, apa pun risikonya,” tutur dai muda yang enerjik ini.
Perang Melawan Maksiat
Ada kisah menarik. Ketika malam sudah larut, Subuhadi pulang dari mengisi pengajian di Peninjauan, akhir tahun 2011. Saat di tengah perjalanan, ia melihat bayangan dua manusia berkelebat dari mobilnya. Mereka menenteng jerigen plastik di tangan kanan dan kiri sambil terus melangkah menuju sebuah kedai yang terletak di seberang jalan lintas Pasaman-Medan.
Sang dai pun tersentak. Kecurigaannya selama ini mulai menunjukkan titik terang. Sebelum kedua orang asing itu sampai ke seberang jalan, Subuhadi mencegat mereka. Tanpa rasa takut Subuhadi menggertak. “Kalau Saudara mau selamat, ayo serahkan barang itu!"
“Anda siapa? Kenapa memaksa-maksa! Isi jerigen ini cuma bensin!” jawab salah seorang tak kalah lantang.
“Jangan bohong! Itu bukan bensin. Sudah lama saya intai. Kalian rupanya yang meracuni akhlak anak muda nagari kami,” tegas Subuhadi. Tanpa rasa takut dikeroyok, seketika saja tangan Subuhadi berhasil menyabar sebuah jerigen. Anehnya, kedua orang itu tampak ketakutan dan langsung lari.
Sebenarnya aksi Subuhadi itu sangat berisiko. Bisa-bisa malah ia yang dihabisi di malam kelam itu. “Saya sudah memperhitungkan segala risiko. Insya Allah, saya sudah siap. Apa pun yang akan terjadi,” tegasnya.
Kecurigaan Subuhadi terbukti benar. Isi jerigen yang dikatakan cuma bensin itu adalah minuman keras jenis tuak. Tuak adalah minuman keras yang dibuat dari pohon enau atau aren. Dalam tempo semalam saja kandungan alkoholnya sudah tinggi, akibat proses fermentasi. Banyak anak muda, bahkan juga kalangan pelajar di kawasan perbatasan ini menjadi korbannya. Mereka pesta tuak hingga mabuk.
“Pernah ada yang tewas akibat minum tuak, sudah banyak pula yang celaka di jalan raya karena memacu sepeda motor dalam kondisi mabuk setelah pesta tuak,” tutur Subuhadi. Dengan minum tuak, kata Subuhadi mereka tak lagi punya rasa takut dan kehilangan rasa malu untuk melakukan perbuatan maksiat.
Menurut Subuhadi, tuak-tuak itu dipasok oleh orang dari luar daerahnya. Ada yang dari Kinali, ada pula yang dari Natal Sumatera Utara. “Tapi inilah risiko dan tantangan bagi para dai di daerah perbatasan.
Di daerah ini, kata Subuhadi, memang jauh dari gemerlapnya kota besar. Tetapi kemaksiatan dan mabuk-mabukan telah merambah ke daerah tersebut. “Kalau para dai di sini lembek dan para penegak hukum tidak punya nyali, di masa datang, entah bagaimana jadinya daerah perbatasan ini," ungkapnya prihatin.
Oleh karena itu, sebagai dai nagari, ia tak hanya berdakwah dengan lisan, tetapi juga langsung dengan perbuatan. Tak hanya menangkap basah pemasok minuman tuak, ia juga bersama pemuda dan tokoh masyarakat, pernah menggerebek lokasi perjudian dan kafe maksiat. “Saya sudah berupaya mengemban amanah dan tanggung jawab sebagai dai nagari, berat memang. Tapi apa pun resikonya, akan saya hadapi," tegasnya.
Berbenteng Papan Triplek
Kata Subuhadi, dulu daerah Pasaman dan Pasaman Barat sangat kental keislamannya. Sebab, daerah ini adalah basis pergerakan Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Sampai hari ini sisa-sisa kejayaan era Padri itu masih ada. Masjid dan madrasah tersebar hingga ke daerah perbatasan dengan Sumatera Utara. Sampai hari ini Pasaman dan Pasaman Barat masih dijuluki “Daerah Seribu Madrasah”. Hampir di setiap nagari ada madrasah tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah. Mayoritas dikelola oleh swasta, seperti MTs Muhammadiyah Ranah Batahan yang kini dipimpin Subuhadi.
Menurutnya, selain deras masuknya budaya luar seperti kemaksiatan dan peredaran tuak, daerah ini sebenarnya masih punya benteng yang kokoh. Sebanyak 70 persen lembaga pendidikan di kabupaten ini adalah madrasah. Lembaga madrasah ini bahkan lebih dulu berdiri dari sekolah negeri dan telah berjasa besar mencerdaskan putra-putri Pasaman sejak dulu. “Tetapi jasa besar itu seperti terlupakan,” ucap Subuhadi.
Banyak madrasah swasta kini dalam kondisi yang menyedihkan: tidak ada perpustakaan, apalagi laboratorium praktek. Ruang kepala sekolah dan ruang belajar hanya disekat dengan papan triplek yang sudah lapuk. Ini memang realitas yang sangat memprihatinkan dibanding bangunan sekolah negeri. “Ketika sekolah negeri silih berganti dibangun dengan beton, madrasah swasta dibiarkan berdinding papan triplek saja,” papar Subuhadi.
Sebagaimana visi Kabupaten Pasaman Barat yang memiliki motto “Pembangunan Bertadahkan agama Islam”, Subuhadi berarap motto tersebut tidak hanya sebagai slogan saja. “Itu bukan hanya tugas bupati. Semua pihak dari kabupaten hingga tingkat nagari harus sungguh sungguh mewujudkannya. Mari bersama-sama memberantas kemaksiatan dan bersama pula membantu madrasah,” ajak Subuhadi. *Dodi Nurja/Suara Hidayatullah