Ketika para pemuda lebih suka pergi ke kota mengejar mimpi, ia malah memilih pergi ke pelosok desa.
Apa yang ia cari?
Waktu masih pagi. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Temanggung kelihatan masih sepi. Sarjono bergegas masuk ke kamar mandi. Tanpa segan-segan, air mandi itu ia minum sepuas-puasnya. Setelah puas minum, ia terus mandi. Byuurr…air mengguyur sekujur tubuhnya. Dan badannya pun terasa segar.
Pagi itu Jono, begitu ia biasa disapa, baru saja lari menempuh jarak 15 kilometer. Jangan salah, ia bukan atlet lari yang sedang berlatih. Jono hanyalah siswa MAN yang lari untuk mengejar waktu sekolah. Itu ia lakukan saban hari. “Ya terpaksa, karena tak punya uang,” katanya kepada Suara Hidayatullah saat ditemui di sebuah masjid di Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bulan Juni lalu.
Jono, lahir dari keluarga tak mampu. Orangtuanya tak sanggup membiayai sekolah anak sulungnya itu. Hanya karena punya tekad baja saja Jono akhirnya mampu menyelesaikan sekolahnya. Tapi ada hikmahnya, mungkin karena terbiasa berlari, Jono pernah menyabet juara pada lomba lari pelajar tingkat Provinsi Jawa Tengah. Kejadian itu berlangsung sekitar 10 tahun lalu. Kini, kebiasan berlari itu ternyata masih dilakukan Jono. Bedanya, sekarang ia “berlari” menggunakan sepeda motor.
Dengan sepeda motor keluaran 2005, pemuda yang kini berusia 25 tahun ini “berlari” dari Wonosari menuju beberapa pelosok desa di Kabupaten Gunung Kidul. Di sana jamaahnya sudah menunggu tausiahnya.
Iya, Jono sekarang telah menjadi dai.
Tak selalu ia bisa “berlari” kencang, karena medan jalannya yang tidak senantiasa mulus. Maklumlah jalan pedesaan, banyak batu dan kerikilnya.
Ada dua desa yang rutin ia bina seminggu sekali, yaitu Dukuh Blimbing, Desa Giring, Kecamatan Palayan dan Dusun Ngepah, Playan, Kecamatan Saptosari. Di Blimbing ia biasa memberi pengajian pada Rabu malam, sedangkan di Ngepah setiap Senin malam.
Dari Wonosari, ibukota Kabupaten Gunung Kidul, Blimbing berjarak sekitar 25 kilometer. Untuk mencapai dukuh ini mesti melewati hutan sekitar 10 kilometer. Jalannya cukup baik, tapi sepi. Seperti saat Suara Hidayatullah ikut menemani Jono, hampir satu jam perjalanan hanya beberapa kali bersimpangan dengan sepeda motor dan mobil. “Karena medannya seperti itu, setelah ngaji saya tak berani pulang,” katanya.
Ia memilih menginap di rumah salah seorang penduduk. Baru paginya ia kembali ke Wonosari. Menurut Jono, seandainya nekad pulang pun sebenarnya aman-aman saja. Tapi ia tak mau mengambil risiko. “Takut kalau ada hewan buas atau ban gembos di jalan.”
Memang pernah terjadi, dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ban motornya bocor. Berkilo-kilometer ia menuntun motornya hingga akhirnya bertemu dengan tukang tambal ban. Namun celakanya, saat merogoh kantongnya, innalillahi wa inna ilaihi rajiun, sesen pun duitnya tak ada. “Uangnya habis untuk beli bensin. Terpaksa saya memberi jaminan KTP,” katanya. Syukurnya, tukang tambal bannya baik hati. Dia memberi tambalan gratis. Allah Ta’ala selalu menolong hamba yang menolong agama-Nya.
Banyak Tantangan
Jono berdakwah di Blimbing sekitar 2,5 tahun lalu. Bermula dari pensyahadatan massal di Pesantren Al-Hadid, tempat di mana Jono sekarang menjadi salah satu pengasuhnya. Mereka yang masuk Islam itu berasal dari Blimbing, jumlahnya sekitar 50 orang.
Pasca pensyahadatan itulah ia dikirim Al-Hahid untuk membina para muallaf tersebut. “Kondisi mereka memprihatinkan,” kata Jono. Selain lemah akidah, mereka juga lemah ekonomi dan pendidikan.
Boleh dibilang dukuh ini tergolong miskin. Hampir semua penduduknya bermata pencaharian petani. Hanya saja, karena termasuk sawah tadah hujan, mereka hanya bisa setahun sekali menanam padi, yakni pada musim hujan. Selebihnya mereka menanam palawija, terutama ketela. Di sini, untuk mendapatkan air, penduduk mesti mendatangkan truk tangki dari luar.
Karena kemiskinannya itulah, hingga sekarang masih ada penduduk Blimbing yang makan tiwul, nasi yang terbuat dari ketela. “Biasanya dipakai untuk selingan,” kata Wasirun, salah seorang tokoh di Blimbing. Tiwul pernah menjadi makanan pokok rakyat pedesaan hingga tahun 80-an.
Desa-desa miskin seperti Blimbing itulah yang biasa menjadi sasaran empuk dari gerakan Kristenisasi. Menurut Wasirun, agama Katolik berkembang di Blimbing sejak 1970 yang diawali dengan membangun SD Katolik di dukuh ini. Banyak orangtua yang memilih memasukkan anaknya di SD ini.
Salah satunya adalah Budi (35). Pria yang berasal dari keluarga Muslim ini, akhirnya pindah ke Katolik. “Ya waktu itu karena disuruh saja,” kata ayah satu anak yang kini sudah kembali ke pangkuan Islam.
Sekolah itu hingga kini masih berdiri. Tentu saja mereka tak cuma mendirikah sekolah, mereka juga mengirimkan seorang penginjil dan mendirikan gereja. Ternyata, menurut Jono, gerakan Kristenisasi tak hanya di Blimbing.
“Gerakan ini hampir merata terjadi di Gunung Kidul,” katanya. Salah satu caranya dengan seolah-olah menolong dari jepitan utang.
Jono berkisah, ia pernah menjumpai seseorang ibu yang nyaris di baptis. Orang tersebut terbelit utang. Lalu datanglah utusan gereja. Mereka sanggup membantu, asal datang ke gereja. Si Ibu ini pun menurut. Untungnya, saat hendak di baptis ia ragu. Ia bilang mau minta ijin kepada anaknya. Nah, pada saat itulah Jono datang.
“Ketika saya tanya, ia bilang terpaksa terima tawaran gereja karena tidak ada pilihan lain,” kata Jono. Ia sudah berusaha pinjam kepada tetangganya sesama Muslim. Namun bukannya dibantu, ia malah sering diolok-olok. “Padahal Islam mengajarkan sesama Muslim itu ibarat satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang sakit, maka bagian yang lain ikut merasakan,” Jono menegaskan.
Untuk membuktikan ucapannya itu, Jono kemudian menggalang dana di kampusnya. “Alhamdulillah, dapat sekitar Rp 600 ribu,” kata Jono yang kini kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dana itu, kata Jono, memang belum bisa menebus utangnya si Ibu, tetapi setidaknya ia sudah menunjukkan bahwa Islam itu peduli dengan sesama.
Tantangan lain dakwah di Blimbing adalah animisme. Kata Jono, “Masih banyak orang yang percaya ke pohon.” Seperti nama desanya, masyarakat Blimbing punya kepercayaan pada pohon blimbing. Mereka menganggap pohon ini bisa mendatangkan kebaikan atau keburukan. Pada waktu-waktu tertentu warga mengirim makanan ke pohon yang besarnya tak lebih dari paha orang dewasa ini.
Ironisnya, pohon itu letaknya persis di belakang Masjid Al-Amin, tempat Jono biasa memberi pengajian. “Saya sudah sering katakan bahwa percaya kepada pohon itu syirik, tapi masih saja orang percaya,” katanya. Bahkan, ada salah seorang jamaahnya yang bersedia membeli pohon itu, untuk kemudian ditebang, tapi tidak mendapat ijin dari warga.
Menurut Jono, tidak mudah membina taklim hingga mampu bertahan hampir tiga tahun. Kini, kata Jono, setiap pengajian yang hadir antara 20 hingga 50 orang. Untuk menarik minat jamaah, kadang Jono memutarkan film dari laptop-nya. “Cuma sekarang laptop saya sudah rusak, jadi tak bisa memutar lagi,” kata pemuda yang mendapat beasiswa dari Pesantrel Al-Hadid ini. Barangkali ada yang mau membantu?* Bambang Subagyo/Suara Hidayatullah.