Pengalaman dai yang mengabdi selama 31 tahun. Pernah ditugaskan ke berbagai daerah.
Ada tradisi yang masih terjaga di Hidayatullah hingga kini. Setiap dai harus siap dipindah dan ditugaskan ke mana dan kapan saja. Itulah yang dialami Ustadz Abdul Kadir Abdullah (62).
Dalam kurun waktu 31 tahun, Kadir, begitu biasa dipanggil sudah pindah tugas sembilan kali. Antara lain di Balikpapan, Grogot, Tarakan, Bontang dan Menado Sulawesi Utara. Empat daerah yang disebut pertama berada di Kalimantan Timur.
Dalam kurun waktu 31 tahun, Kadir, begitu biasa dipanggil sudah pindah tugas sembilan kali. Antara lain di Balikpapan, Grogot, Tarakan, Bontang dan Menado Sulawesi Utara. Empat daerah yang disebut pertama berada di Kalimantan Timur.
Tidak mudah tugas secara pindah-pindah. Minimal, ia harus selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang baru. Bagi Kadir, itu sudah risiko dari pilihan hidup yang diambilnya. Ia telah memutuskan dakwah sebagai jalan hidupnya. “Diriku telahku jual di jalan dakwah untuk mensyiarkan Islam,” katanya mantap.
Bermula pada tahun 1979. Ketika itu ia masih sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah sekolah milik Muhammadiyah di Enrekang, Sulawesi Selatan. Secara ekonomi, kebutuhan hidupnya memang terpenuhi. Namun ia merasa resah. Keresahan itu timbul karena ia merasa kurang maksimal hidup sebagai Muslim. “Banyak hal yang belum saya terapkan,” ujarnya. Dari waktu ke waktu, keresahan itu terus menderanya.
Pada tahun yang sama, pria kelahiran Enrekang ini mengenal Hidayatullah dari seorang juru dakwahnya. Sang dai kata Kadir, merupakan sosok yang beda dibanding dai-dai biasanya. Kadir baru kali itu melihat dai yang semangat hidup bersyariatnya tinggi. Kadir akhirnya kepincut. Ia memutuskan bergabung dengan Hidayatullah. Pekerjaan sebagai guru PNS ia tinggalkan.
Begitu memutuskan bergabung dengan Hidayatullah, Kadir pun hijrah ke Pesantren Hidayatullah Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim), bersama keluarganya. Di tempat baru itu, ia mendapat tugas menjadi guru, dunia yang tak asing baginya. Kadir sangat menikmati hidup di Pesantren Hidayatullah. Tak ada kata penyesalan. Justru syukur yang tak terhingga. “Sebuah nikmat yang jarang saya dapatkan sebelumnya,” kata ustadz yang kerap bernampilan khas ini: berjubah putih, bersorban merah, dan di saku bajunya selalu terselip al-Qur`an kecil. Al-Qur`an itu terlihat lusuh karena sering dibaca.
Merintis Cabang
Belum lama jadi guru di Balikpapan, Kadir ditugaskan merintis cabang Hidayatullah di daerah Kenangan, Grogot, Kaltim. Daerah yang dirintis Kadir adalah kompleks perusahaan PT. Instruments Timber Corporation Indonesia (ITCI). Kompleks tersebut sengaja meminta Hidayatullah untuk membina para karyawannya.
Dakwah di tempat baru tersebut berjalan mulus. Praktis, pria berjenggot ini tidak mendapat halangan dalam dakwahnya. Sekitar tiga tahun di Grogot, ia ditugaskan untuk membantu rekannya yang sedang merintis di Tarakan, Kaltim.
Belum sempat peluhnya kering, Kadir dipindahkan lagi ke Bontang. Di sini Kadir juga membantu merintis cabang baru. Namanya merintis, Kadir harus kerja keras. Ia bekerja sekuat tenaga mengambil bagian yang bisa dikerjakan. Terkadang mengajar mengaji, cari donatur dan lain sebagainya.
Belum lama di Bontang, Kadir dipindahkan ke Menado. Di daerah mayoritas Kristen ini, lagi-lagi ia dapat amanah merintis cabang baru. “Sebagai kader, saya harus sami’na wa ‘athana,” katanya. Maksudnya, mendengar dan melaksanakan.
Merintis cabang, bagi Kadir adalah aset pahala. Meski kelak bukan ia yang menikmati, tapi pahalanya akan mengalir kepada dirinya. Karena itu, ia tidak pernah berpikir soal jerih payahnya selama merintis. Meski sudah peras keringat dan banting tulang, ketika disuruh pindah, detik dan saat itu pula ia siap angkat koper.
Sekitar sembilan kali Kadir dipindahtugaskan. Banyak asam-garam yang ia rasakan selama menjalankan tugas itu. Menurutnya, merintis cabang adalah saat-saat romantis bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pasalnya, dalam kondisi tak punya apa-apa ia butuh pertolongan Allah Ta’ala. “Hanya Allahlah yang bisa menolong,” kata bapak dari tujuh belas anak ini. Agar pertolongan itu mudah turun, ia mesti mendekatkan diri kepada Sang Penolong, dengan cara menjaga ibadahnya. Mulai dari shalat lima waktu, puasa, baca al-Qur`an, zikir dan shalat Tahajud.
Pertolongan Allah
Benar saja, banyak pertolongan Allah yang telah ia rasakan. Pernah, suatu ketika sedang mencari lahan untuk membuka pesantren, tiba-tiba datang orang mewakafkan lahan. Padahal, hal itu tidak pernah ia nyana. “Datangnya tiba-tiba,” ujarnya.
Adanya lahan tidak berarti persoalan selesai. Untuk membangun pesantren tentu saja butuh dana. Itulah persoalan berikutnya, Kadir tak memiliki dana. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya. Lahan tersebut tetap dicangkulnya. Ia nekad membuat pondasi. Ia masih ingat petuah almarhum Ustadz Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, “Cangkul saja tanahnya, jangan menunggu uang, insya Allah uang akan datang sendiri.”
Lagi-lagi pertolongan Allah itu hadir. Ketika sedang mencangkul, tiba-tiba datang dermawan memberikan bantuan. Kata Kadir, bantuan itu datang dari mana-mana, ada dari Jakarta, Surabaya dan kota lainnya. “Min haitsu laa yahtasib,” ujar Abdullah menyitir ayat al-Qur`an. Maksudnya, bantuan Allah itu bisa datang dari arah yang tak terduga. “Tapi, syaratnya harus bertakwa dulu,” imbuhnya.
Bukan berarti tak ada masalah. Pada suatu saat bulan Ramadhan pernah ia mengalami krisis. Di dapur tidak ada secuil pun makanan untuk berbuka puasa, sementara kantong juga benar-benar kempis. Istrinya gelisah. “Kita nanti makan apa,” tanya istrinya. “Tenang saja, Allah pasti akan menolong kita. Setiap makhluknya sudah disediakan jatahnya,” kata Kadir. Waktu terus berjalan, tanda-tanda pertolongan Allah itu tak jua muncul. Istrinya makin gelisah. Saat waktu ashar tiba, istrinya kembali bertanya, “Kita nanti makan apa?”
Kadir tetap tenang. Bahkan ia melarang istrinya pinjam beras ke tetangga. “Saya khawatir nanti jadi terbiasa pinjam,” katanya. Tidak itu saja, bahkan ia juga melarang istrinya menceritakan keadaannya ke orang lain. Ia merasa cukup mengadukan segala persoalannya itu hanya kepada Allah. “Itu prinsip buat saya, tidak boleh minta pertolongan kepada manusia,” kata Kadir tegas.
Waktu mendekati maghrib, istrinya kembali mengulang pertanyaannya. “Waktunya masih lama. Jangankan satu menit, satu detik pun cukup buat Allah untuk menolong kita,” kata Kadir menenangkan istrinya. Ia lalu menyuruh istrinya membaca al-Qur`an, zikir dan berdoa.
Allah selalu menepati janjinya, barangsiapa meminta kepada-Nya, pasti bakal dikabulkan. Beberapa menit menjelang buka puasa, tetangganya datang mengantarkan makanan. Alhamdulillah, keluarga ini pun bisa berbuka puasa. Tapi persoalan bukan berarti selesai. Makanan buka puasa memang sudah ada, cuma untuk makan sahur, itu yang belum tersedia. Sekali lagi, Allah pun menjawab permintan mereka. Tak berapa lama setelah maghrib, tetangga lainnya datang mengantarkan makanan untuk sahur. Subhanallahu, Allahu Akbar! *Bambang S, Saiful Anshor/Suara Hidayatullah