Pernah ditugaskan berdakwah di Aceh, Gorontalo, Samarinda, Pontianak dan Palembang.
Malam itu, sekitar pukul 23.30 kampus Pesantren Hidayatullah Lhokseumawe, Aceh gelap gulita. Semua penghuni lelap dalam peraduan. Tiba-tiba pintu rumah pimpinan pesantren,
Wahyu Rahman diketuk orang tak dikenal. “Tok…tok…tok,” terdengar suara keras. Pria asal Palopo, Sulawesi Selatan ini terbangun. Pas dibuka, empat orang lelaki telah berdiri di depannya. Meski memakai baju preman, tapi badan mereka tampak kekar.
Wahyu Rahman diketuk orang tak dikenal. “Tok…tok…tok,” terdengar suara keras. Pria asal Palopo, Sulawesi Selatan ini terbangun. Pas dibuka, empat orang lelaki telah berdiri di depannya. Meski memakai baju preman, tapi badan mereka tampak kekar.
“Katanya ada orang yang ganggu pesantren. Tunjukkan, mana orangnya!,” kata salah seorang dari mereka. Suaranya membuat Wahyu merinding. Usut punya usut, mereka adalah petugas dari Komando Resort Militer (Korem) Lhokseumawe. Mereka tahu jika belakangan ini, pesantren sering mendapat teror dari warga sekitar.
Sesaat Wahyu terdiam. Suami dari Muthmainnah ini mendadak teringat kisah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menolak tawaran Malaikat Jibril yang hendak menimpakan Gunung Uhud ke penduduk Thaif. Padahal, jika Nabi mau, penduduk yang mengusir dan melempari Nabi dengan batu hingga berdarah itu, seketika bisa binasa. Tapi, hal itu ditolak oleh Nabi.
“Bagaimana Pak, tahu orangnya tidak?,” tanyanya lagi. Meski terkaget-kaget, Wahyu berusaha menjawab. “Tidak. Saya betul-betul tidak tahu orangnya. Maaf, Pak,” jawab Wahyu. Lalu keempat petugas Korem Lhokseumawe itu meninggalkan Wahyu. Padahal, jika mau, Wahyu bisa menyebut satu per satu nama yang sering mengganggu pesantrenya. Wahyu ingat cerita santrinya yang asli Aceh, dia mendengar ada orang yang berencana membakar pesantren. Disusul kemudian, kambing milik pesantren disembelih orang tak dikenal, lalu ususnya digantung di kandang.
Tidak hanya itu. Pesantren yang dipimpin Wahyu juga difitnah sebagai pembawa aliran sesat. Pelakunya termasuk tokoh di daerah tersebut. Wahyu berpikir, andai orang tersebut disebut, esok harinya, kemungkinan besar orang tersebut bakal “diambil” petugas Korem itu. Pasalnya ketika itu, Aceh sedang dalam kondisi Daerah Operasi Militer (DOM). Kekuasaan ada di tangan militer.
Berbulan Madu di Kapal
Wahyu merintis Pesantren Hidayatullah Lhokseumawe pada 1994. Bagi mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini, merintis pesantren merupakan tantangan yang paling ditunggu. “Merintis cabang baru dari modal nol adalah ujian keimanan. Betul-betul luar biasa,” ujarnya.
Oleh karena itu, hanya jawaban sami’na wa ata’na (kami dengar dan kami taat) yang keluar dari mulut ayah empat anak ini ketika ditugaskan ke daerah rawan konflik, serambi Makkah. Padahal saat itu, Wahyu baru saja menikah dan belum sempat berbulan madu.
Saat berangkat bertugas, Wahyu benar-benar terjun bebas. Bekalnya hanya cukup untuk naik kapal laut dari Balikpapan, Kalimantan Timur ke Medan, Sumatera Utara. Karena tak ada uang, Wahyu dan istrinya terpaksa tidak bisa menyewa kamar yang bisa menampung mereka berdua. Akhirnya, selama empat hari perjalanan dalam kapal, setiap malam mereka tidur berpisah. “Ini baru bulan madu terindah. He..he..he,” ujar Wahyu berseloroh.
Sekalipun bekalnya nihil, Wahyu tak pesimis. Ia yakin dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Allah akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya,” ujarnya penuh keyakinan.
Setiba di Lhokseumawe, Wahyu pun langsung tancap gas dengan cara bersilaturahim, membangun jaringan, dan membuat kelompok pengajian di beberapa perusahaan. Tak hanya itu, para aktivis mahasiswa di sejumlah universitas di Lhokseumawe tak luput dari jangkauan Wahyu. Bekal pengalaman organisasi semenjak di HMI membuat Wahyu cepat bergerak dan beradaptasi. Belakangan, para aktivis binaan Wahyu banyak yang menjadi ketua dan pengurus Pesantren Hidayatullah di beberapa daerah.
Dalam tempo tiga tahun, perkembangan Pesantren Hidayatullah Lhokseumawe cukup pesat. Lahan yang luasnya 3 hektar itu mulai penuh oleh bangunan; asrama, masjid, dan sekolah. Ketika itu, pesantren benar-benar banyak menerima bantuan. Sayangnya, hal itu membuat sejumlah orang di sekitar pesantren cemburu.
Karena itu, mereka mulai membuat ulah; menebar fitnah, mengganggu, dan sebagainya. Menurut Wahyu, hal itu dilakukan agar para santri tidak betah dan pergi. Tapi, hal tersebut tidak terlalu ditanggapi. Wahyu beserta para pengurus lainnya tetap memohon pertolongan Allah Ta’ala dan menjalin silaturahim. Seiring waktu, sejumlah warga yang sering mengganggu tersebut berhenti.
Diberi Mobil
Wahyu memiliki pengajian binaan rutin. Ada yang sepekan sekali, bahkan ada yang lebih. Jumlah jamaahnya variatif. Ada yang sepuluh hingga ratusan jamaah. Mereka dari berbagai lapisan; dari direktur hingga pedagang kaki lima. Suatu malam, Wahyu hendak berangkat mengisi pengajian. Tiba-tiba hujan turun lebat. Karena tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, lalu Wahyu memutuskan tidak bisa datang.
Keesokan harinya Wahyu dipanggil oleh salah satu jamaahnya. Ia ditanya kenapa tidak bisa hadir. Wahyu pun berterus terang, jika semalam hujan lebat dan tidak mungkin bisa datang. Subhanallah, di luar dugaan, tiba-tiba seorang jamaahnya tersebut menyerahkan mobil miliknya. “Ustadz, pakai saja mobil saya. Semoga bisa membantu dalam berdakwah,” kata Wahyu menirukan seorang jamaahnya. Wahyu hanya bisa bengong sambil mulutnya tak henti-hentinya me-lafadzkan hamdallah.
Pindah Tugas
Empat tahun Wahyu bertugas di Aceh. Tahun 1998 ia dipindah ke Gorontalo, Sulawesi untuk merintis cabang Hidayatullah. Namun, jerih payah di Aceh tak ada yang dibawanya, termasuk tiga buah mobil.
Di tempat baru ini, kondisinya masih memprihatinkan. Belum ada apa-apa. Hanya bangunan kosong. Lagi-lagi, Wahyu harus memulainya dari nol. Karena tak punya motor, dengan naik sepeda ontel, Wahyu keliling bersilaturahim. Tak malu, pejabat pemerintah dan anggota DPR di Gorontalo didatanginya.
Menurut Wahyu, baru enam bulan di Gorontalo, ia dipindah ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tahu mau dipindah, Wahyu memaketkan barang-barangnya lebih dulu. “Sementara saya, istri, dan anak-anak naik kapal ke Manado lalu ke Balikpapan, Pesantren Hidayatullah Pusat,” kata Wahyu. Sampai di Balikpapan, tiba-tiba Wahyu batal tugas ke Palangkaraya dan dipindah ke Samarinda, Kalimantan Timur.
Tahun 2000, Wahyu dipindah lagi ke Pontianak, Kalimantan Barat untuk jadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Hidayatullah (DPW) hingga 2004. Ketika Aceh porak poranda diterjang tsunami, Wahyu ditugaskan kembali di Aceh sebagai kordinator posko bencana. Empat tahun di Aceh, ia dipindah lagi ke Palembang, Sumatera Selatan sebagai ketua DPW.
Di kota pempek ini, Wahyu lebih agresif lagi berdakwah. Tidak hanya di daerah perkotaan, Wahyu juga aktif berdakwah di daerah transmigrasi. Jangan dibilang banyak honornya. Uang transportasi saja justru keluar dari sakunya sendiri. Namun, ia tak hendak surut dari medan dakwah.
Kini, ia ditarik ke Jakarta untuk ‘menaklukkan’ ibu kota. Wahyu seperti tak pernah lelah berdakwah. * Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah