Dari Balikpapan ke Samarinda, lalu ke Tenggarong, Palangkaraya, dan Sampit. Kini, Imran terdampar di Palopo.
Mayat-mayat itu bergelimpangan di pinggir jalan. Tak jauh dari tubuh-tubuh yang tak berdaya itu, para lelaki bersenjatakan panah, parang dan tombak mondar-mandir nampak beringas, siap mencabut nyawa!
Mayat-mayat itu bergelimpangan di pinggir jalan. Tak jauh dari tubuh-tubuh yang tak berdaya itu, para lelaki bersenjatakan panah, parang dan tombak mondar-mandir nampak beringas, siap mencabut nyawa!
Di tengah suasana yang mecekam itu, tiba-tiba seorang di antara mereka menghampiri pria berkacamata yang baru datang dari arah kota. “Berhenti! Mau ke mana? Anda Madura kan?” katanya.
Suara bentakan itu terdengar nyaring di telinga Imran M. Jufri (37), pria berkacamata itu. Ia dai dari Pesantren Hidayatullah yang saat itu bertugas di Sampit. “Saya Bugis Pak, mau ke Pesantren Hidayatullah,” jawabnya setengah merinding.
Imran berharap dengan menyebut ”Bugis” sebagai suku yang tidak terlibat pertikaian akan menjadikan dirinya aman. Namun, ternyata jawaban Imran masih belum memuaskan. Mereka tidak mau membiarkan seorang pun lolos dari target. Imran diinterogasi.
Merasa keadaan makin gawat, spontan Imran menyebut nama M. Ranan Baut (Alm), Demang Kepala Adat Dayak Kalimantan Tengah. “Ranan Baut adalah penasihat Pesantren Hidayatullah Sampit,” jelas pria kelahiran Toli-Toli, 9 Septembar 1972. Sontak suasana menjadi cair dan bersahabat.
Malam itu Imran tidak berada di pesantren, ia bermalam di kota Sampit. Karena mendengar peristiwa pembantaian (Februari 2001), ia memutuskan segera ke pesantren untuk mengamankan para santrinya. Imran sadar dua dari 30 orang santrinya berasal dari suku Madura. Nyawa kedua anak itu ada dalam bahaya.
Alhamdulillah, dengan bantuan simpatisan kedua santri itu dapat disembunyikan dan selamat setelah diungsikan ke depan rumah dinas Bupati Sampit.
Hidayatullah Sampit terletak di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Sampit, Kalimantan Tengah. Normalnya, perjalanan dari kota ke lokasi pesantren, hanya ditempuh sekitar 25 menit saja. Tapi pagi itu, Imran menempuhnya selama 1, 5 jam. Bersyukur Imran selamat.
Setahun pasca konflik Dayak dan Madura, perekonomian Kota Sampit kembali berjalan normal, begitu pula dengan dakwah Hidayatullah. Aktivitas dakwah yang sempat putus kembali aktif, termasuk beberapa kegiatan TK/TP al-Qur’an yang sudah berbulan-bulan macet.
Kepercayaan masyarakat kepada Hidayatullah semakin kuat. Dakwah Imran yang dulu hanya bergerak di Muhammadiyah, kini juga sudah diterima di kalangan NU. Tidak heran jika Imran kadang harus membagi jadwal di masjid milik warga NU dan Muhammadiyah untuk mengisi jadwal khatib Jumat.
Kepercayaan itu semakin terlihat saat camat di Kecamatan Baamang menyerahkan sebuah yayasan peninggalan etnis Madura kepada dirinya. Di yayasan tersebut sudah berdiri satu buah gedung asrama dan tiga lokal ruang belajar permanen. “Barangkali ini caranya Allah melindungi umatnya dari kehancuran. Allah menitipkan amanah ini kepada kami agar dakwah dan pembinaan umat tetap berjalan di Sampit,” ungkap Imran penuh syukur.
Akan tetapi perjalanan dakwah tidak selamanya lancar. Di penghujung 2002, entah mengapa seorang tokoh masyarakat yang tidak bersimpati kepada dirinya mengirimkan guna-guna (semacam santet). Tujuannya agar seluruh santrinya tidak betah dan segera hengkang dari pesantren. Bersyukur, guna-guna tersebut tidak mempan. Yang terjadi justru sebaliknya, sang tokoh diusir oleh masyarakat karena melakukan tindak asusila dengan tetangganya.
Perbuatan jahat dengan santet itu terkuak. Ruswadi, sang pelaksana lapangan yang menanam santet di halaman pesantren mengakui perbuatannya dan meminta maaf.
Tinggal di Masjid
Dakwah dan sabar adalah satu paket yang utuh. Imran sudah menyadari hal itu sejak pertama kali kakinya melangkah meninggalkan Pesantren Hidayatullah, Balikpapan. Sudah berpuluh seniornya mengajarkan tentang dua hal ini, dan itu harus dipegang erat-erat.
Termasuk ketika ditugaskan ke Sampit pada l995. Ia harus bersabar saat belum punya tempat tinggal. Yang dilakukan adalah berkunjung ke sejumlah masjid. Di samping untuk melakukan shalat berjamaah, juga mencari peluang untuk tinggal di sana. ”Hitung-hitung cari tempat tinggal gratis,” katanya sambil tersenyum.
Oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT), ia dipertemukan dengan Drs H Muhammad, Wakil Ketua Pengadilan Agama yang menjadi ketua Badan Pengelola Masjid Al-Falah. Melalui Muhammad, Imran dipersilakan tinggal di Al Falah untuk sementara waktu. Syaratnya, ia mengurusi kegiatan-kegiatan di masjid. Mulai dari mengepel, menyusun jadwal khatib, merancang kegiatan Ramadhan, menjadi panitia Qurban hingga menghitung uang celengan.
Setelah setahun tinggal di Masjid Al-Falah, suatu malam di bulan Mei 1996, ia didatangi seseorang. Bagi Imran dan kawan-kawan, tamu yang berkunjung itu tidak asing lagi. Lelaki itu bernama Slamet, Kepala Desa Sumber Makmur, yang berniat mewakafkan tanah desa yang luasnya dua hektar.
“Alhamdulillah, Allahu Akbar!” pekik takbir anak-anak muda ini. Terbayang oleh mereka kehadiran Pesantren Hidayatullah di Sampit tinggal selangkah lagi. Doa Imran dikabulkan Allah, selang beberapa waktu kemudian di Desa Sumber Makmur itu dibangun Pesantren Hidayatullah, yang berdiri hingga sekarang.
Pindah ke Palopo
Setelah delapan tahun mengemban amanah dakwah di Sampit, Imran dipindahtugaskan ke Palopo, Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, Imran memegang amanah sebagai Ketua DPD Hidayatullah Palopo.
Semangat Imran dalam dakwah tetap menyala. Baginya, Sampit dan Palopo tidak ada bedanya. Dua-duanya adalah medan dakwah yang siap dihadapi. Maka berbagai aktivitas kembali dilakukan seperti ceramah dan pengajian rutin lainnya. Ia juga dipercaya oleh Departemen Agama kota Palopo untuk menjadi penyuluh agama di kecamatannya.
Selain itu, kampus pesantren Hidayatullah seluas satu hektar yang berjarak 9 km dari pusat kota Palopo, kini telah berkembang pesat. Ada enam ruang kelas untuk SD, tiga kelas SMP, satu unit perpustakaan, masjid, empat rumah pembina, dan ruangan TK/TPA, semuanya tertata apik.
Perjalanan dakwah Imran, dimulai sejak bergabung dengan Pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak (1988), Balikpapan. Pada masa santrinya, ia diberi amanah di Departemen Kebersihan dan Lingkungan Hidup. Pekerjaan sehari-harinya yakni membersihkan sampah dan menyabit rumput. Ia juga membuat taman dan mengelola keindahan kampus dengan menanam berbagai bunga hingga suasana kampus menjadi indah.
Pada tahun 1990, ia diberi tugas baru untuk membantu perintisan Hidayatullah di kota Samarinda. Di kota Tepian ini, Imran diberi amanah untuk mewujudkan berdirinya sebuah masjid. Dari Samarinda, ia berpindah ke Tenggarong, Kabupaten Kutai (1995). Di tempat ini ia diberi amanah sebagai Pimpinan Ranting. Saat itu, Hidayatullah di Tenggarong juga baru dirintis.
Setahun berdakwah di Tenggarong, Kalimantan Timur, ia lalu dipindah tugaskan ke Palangkaraya, Kalimantan Barat. Juga dengan tugas yang sama.
Belum genap setahun bertugas di Palangkaraya, di akhir tahun 1996, barulah ia kemudian diberi amanah untuk melakukan perintisan di Hidayatullah Cabang Sampit, sebelum akhirnya bertugas di Palopo hingga sekarang. *Sarmadani/Ali Athwa/Suara Hidayatullah.