Saya masuk Pesantren Hidayatullah menjadi santri awal di Manado tahun 1988 dan diamanahi menjadi Ketua Dewan Santri Putri sekaligus guru Taman Kanak Kanak (TK). Kemudian tahun 1990 sampai 1993 dikirim ke Balikpapan menjadi santri gelombang pertama Hidayatullah Manado di Gunung Tembak.
Saya pernah menjabat sebagai koordinator keamanan dan juga Dewan Penasihat santri putri sekaligus wali kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga pulang dan menjadi santri di Manado kembali, karena penyakit mata yang saya derita akibat kecelakaan. Saya pernah menjadi kepala sekolah TPA Darussalam dan kemudian menikah dengan lelaki yang baik namanya Abdurrahman Noho dan juga pada saat itu beliau kepala sekolah TPA Baitul Makmur di Manado.
Setelah mempunyai putra pertama, setahun kemudian kami berangkat ke Gorontalo dan bergabung di Pesantren Hidayatullah Bumela, daerah tambang Paguyaman. Saya sempat mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Desa Bumela dan membina majelis taklim anak-anak SMP dan SMA di sana.
Kemudian tahun 2001 sampai 2005 kami bertugas di Manado dengan amanah Kepala TK dan juga mengajar di kelas 2 MI dan siangnya mengajar di MTs sekaligus sebagai wali kelas 1 dan pernah menjabat sekretaris Pimpinan Wilayah Muslimat Hidayatullah Sulawesi Utara untuk periode 2001-2005. Dan, pada akhirnya kami lalu ditugaskan di Ambon tahun 2005, mengikuti suami yg saat itu diamanahi sebaga Ketua DPW Hidayatullah Maluku yang berkedudukan di Ambon.
Berbekal sami’na wa atho’na dan beberapa lembar pakaian dan kitab-kitab, kami pun berangkat menuju Ambon. Jujur yang terbayang dalam benak saya di tempat baru ini adalah orang-orang yang keras, kasar dengan laras senapan yang akan siap menghalangi perjuangan kami dan mungkin syahid akan menanti kami di sana. karena pada saat itu Ambon pasca konflik.
Guyuran air hujan menyambut kedatangan kami di Ambon Manise tepatya 5 Oktober 2005 bertepatan 9 tahun hari pernikahanku waktu itu awal bulan Ramadhan.
Subhanallah, Alhamdulillah, Wa Laa Ilaaha Ilallah, wa Allahu Akbar. Lafaz itulah yang keluar dari lisan ini, sepanjang perjalanan menuju Desa Liang yang jaraknya 36 km dari Kota Ambon. Begitu tampak rumah-rumah, gedung dan pertokoan yang hancur lebur karana pasca konflik.
Dua hari keberadaan kami di Desa Liang, baru saya tau , ternyata di sini tidak ada sumber air dan harus menempuh jarak 8 KM dengan memakai mobil atau mengandalkan jatuhnya air hujan.
Kesabaranku diuji. Pernah dalam tiga hari berturut-turut kami tidak mempunyai air padahal saya mempunyai tiga putra dan putri yang masih kecil-kecil, dan yang terkecil baru berusia setahun. Bersyukur saya mempunyai anak-anak santri yang baik dan selalu menawarkan air yang diambil dari gunung, Gunung Lagera namanya.
Ke gunung itu, apabila perginya habis subuh menjelang Asar mereka baru kembali. Duh, gusti Allah kalau mengenang itu, tanpa sadar mataku basah. Disinilah aku bertekad inggin mengabdikan diriku kepada mereka anak-anak Ambon yang kucintai.
Awal karirku di Ambon adalah membuka pendidikan TK yang gedungnya beratapkan pohon ketapang dan berlantaikan tikar. Terkadang ular pun jatuh dari langit-langit atap pada saat saya mengajar. Apabila datang hujan, kamar tidur depan dan ruang tamu kusulap menjadi kantor dan tempat proses belajar mengajar. Sore hari ruangan itu menjadi tempat mengajar Taman Pendidikan Al-Qur'an, malamnya kugunakan untuk tidur keluargaku.
Pernah satu malam saat itu mati lampu. Saking capek dan ngantuknya, aku tertidur pulas. Keesokan harinya, ketika membersihkan kamar untuk prsiapan belajar, alangkah terkejutnya aku, ternyata tepat di bawah kasur di mana semalam aku tidur ada ular bersemayan disana. Masya Allah.
Begitulah setiap hari kujalani saat terindah di Desa Liang. Dalam munajat di malam hari di sela-sela sepertiga malam tak lupa aku selalu berdoa “Ya Allah, kuatkanlah iman ini berikanlah rahmat tempat ini dan turunkanlah kasih sayangmu, Amiin yaa Robbal 'Alamiin".
Alhamdulillah, lima bulan keberadaan kami di Desa Liang mulai mengadakan pengeboran air minum. Setiap orang melihat kegiatan pemboran itu maka dianggap orang pesantren sudah gila karena tidak mungkin ada air yang keluar dari batu cadas.
Tiga bulan proses pengeboran dengan kedalaman 50 meter ke bawah dari dasar tanah, Subhanallah, Alhamdulillah, Wa Laa Ilaaha Ilallah, wa Allahu Akbar, berkat kasih sayang Allah serta doa jamaah, air keluar dengan mata air yang deras. Kami warga pesantren Hidayatullah bagaikan menemukan air zamzam di tengah teriknya padang pasir. Disitulah sekolah TK mulai dibangun, masjid, gedung, kantor, rumah dan juga asrama serta perkebunan.
Dan, satu kesyukuran di sekeliling pesantren sekarang banyak rumah-rumah warga desa yang tinggal. Sudah hampir 60 kepala keluarga rumah tangga yang menikmati air dari pesantren.
Di tempat tugas ini, saya juga diamanahi menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muslimat Hidayatullah Maluku, sekaligus instruktur wilayah. Dengan amanah itu kukembanagkan sayap membuat training Grand MBA (Gerakan Membaca dan Belajar Al-Qur'an) untuk ibu-ibu majelis taklim Raudhatul Jannah Mardika yang ada di kota Ambon dan majelis-majelis taklim lainya .
di Mardika, tempat ini belum pernah disentuh dakwah karena tempat prostitusi. Alhamdilillah, Muslimat Hidayatullah memulainya di sela dua tahun saya dengan abinya anak-anak pulang pergi dari desa Liang ke Ambon. Jarak 36 km jauhnya untuk mengajarkan kalam Allah kepada ibu-ibu. Alhamdulillah, sudah tamatan kedua majelis taklim Raudhatul Jannah mengadakan training Grand MBA.
Tiga tahun setelahnya kami pun pindah ke kota Ambon menempati kantor sekertariat Hidayatullah yang baru saja dibuat. Sebulan kemudian kuberanikan diri membuat pendidikan Homeschooling (sistem sekolah di rumah/alamiah, ed) untuk tingkatan sederajat dengan Taman Kanak Kanak. Dan ini mungkin adalah homeschooling bernama Yaa-Bunayya Hidayatullah ini adalah yang pertama ada di Ambon. Dan sore harinya saya mengajar Taman Pendidikan Al-Qur'an.
Allhamdulillah, setelah hampir dua tahun keberadaan TPQ dan Homeschooling inii membuahkan hasil. Rata-rata anak-anak tamatan Homeschooling sudah bisa membaca dan menulis. Yang menarik, mereka menjadi anak-anak penghafal doa-doa dan hadits serta surah-surah dalm Qur'an. Begitu juga rekrutmen kader Muslimat Hidayatullah adalah orang tua murid dan majelis ta’lim Ambon lainya yang apabila di gabung hamper 40 ibu ibu.
Subhanallah, jelang terbitnya fajar di pagi hari dan menjelang senja di sore hari sayup-sayup terdengar kalam Ilahi mengemma langit di sela-sela ruang tanpa batas. Celoteh anak-anak yang riang membuatku semangat dalam berjuang.
Ternyata! Setelah lima tahun keberadaan kami di Ambon, pandanganku yang keliru ketika pertama kali menginjakan kaki di Ambon pun, terhapus sudah. Mereka begitu penuh cintai, menghormati dan menyayangiku. Aku tidak sanggup membalas semua kebaikan mereka yg begitu tulus. Apalagi ketika perpisahan itu tiba, rasanya aku tidak mampu meninggalkan mereka.
Yah, aku merindukan anak anak didikku, orang tua murid, serta jamaah yang mengantarkan kami sekeluarga ke pelabuhan Yos Sudarso, Ambon. Aku terlanjur mencintai dan menyayangi mereka seperti keluargaku sendiri. Mungkin seperti itulah yang dikatakan Rasulullah, "Bertemu, berkasih sayang dan berpisah karena Allah". Semoga kita tergolong orang orang yang senantiasa dekat dengan Allah, Aamin.
Alhamdulillah sekarang sudah setahun kami tugas di Bandar Lampung. Belum banyak yang kami lakukan, masih dalam proses pencarian kampus untuk mewujudkan peradaban mulia ke depan yang dicita-citakan. Dukungan, dan doa serta motifasi, kami selalu mengharapkannya. Semoga Allah senantiasa meridhoi perjuangan ini dan memberikan yang terbaik dari sekian yang terbaik. Aamin yaa Robbal 'Aalamiin.
Ditulis dan dikisahkan oleh Ibu Umi Kharisma